Pages

Sejarah Arema FC

KETIKA Kompetisi Galatama semarak di beberapa kota besar, Malang tenang tenang saja. Kalau mau menyaksikan pertandingan Galatama, orang Malang harus lari ke Surabaya untuk menyaksikan Niac Mitra. Padahal Malang layak untuk mendirikan sebuah klub Galatama.

Namun Arema pun berdiri. Bagaimana sejarah Arema? “Papi minta ada klub Galatama di Malang.” Sepenggal kalimat yang diucapkan Ir Lucky Acub Zaenal kepada Ovan Tobing itulah, barangkali menjadi tonggak awal berdirinya sebuah tim kebanggaan kota Malang yang kini dikenal dengan nama Arema Singo Edan. Papi yang dimaksud adalah julukan Brigjen (Pur) Acub Zaenal, yang tak lain adalah ayah Lucky sendiri. Sebagai Administrator Galatama saat itu, ‘jendral’ demikian Acub Zaenal akrab dipanggil, memang berobsesi Malang punya klub Galatama. Keinginan menggebu ‘jendral’, bermula ketika dia hadir di Stadion Gajayana menyaksikan duel Persema Malang, Perseden Denpasar dan Persegres Gresik. Banyaknya penonton yang menyaksikan pertandingan itu.

Selang beberapa hari kemudian, Acub mengutus Lucky untuk menemui Ovan Tobing. Kebetulan, Ovan saat itu adalah Humas Persema. “Bang, Papi minta ada klub Galatama di Malang,” ujar Lucky kala itu kepada Ovan menyampaikan pesan sang ayah. Di Malang, memang sudah berdiri klub sepak bola Armada`86 milik Dirk Soetrisno atau yang biasa dipanggil Derek–almarhum. Derek pun lantas dirangkul. Harus diakui, awal berdirinya Arema tidak lepas dari peran besar Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya adalah Aremada–gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak bisa langgeng. Beberapa bulan kemudian diganti menjadi Arema`86. Sayang, upaya Derek untuk mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak mengalami hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai erseok-seok karena dihimpit kesulitan dana.

Dari sinilah, Acub Zaenal dan Lucky lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 akhirnya diubah menjadi Arema dan ditetapkan pula berdirinya Arema Galatama 11 Agustus 1987 sesuai dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti air mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,” ujar Ovan mengisahkan.
Hanya saja, kata Ovan, dari pendirian bulan Agustus itulah kemudian simbol Singo (Singa) muncul. “Agustus itu kan Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop),” imbuh Ovan. Dari sinilah kemudian, Lucky dan, Ovan mulai mengotak-atik segala persiapan untuk mewujudkan obsesi berdirinya klub Galatama kebanggaan Malang.

Segala tetek-bengek mulai pemain, tempat penampungan (mess pemain), lapangan sampai kostum mulai diplaning.
Bahkan, gerilya mencari pemain yang dilakukan Ovan satu bulan sebelum Arema resmi didirikan.
Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra), sampai kiper Dony Latuperisa yang kala itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Bahkan pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung. Hanya saja, masih ada kendala yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Abd Saleh mau membantu dan menyediakan barak prajurit Pas Khas untuk tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dijadikan tempat berlatih. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI AU memberikan andil yang besar pada Arema,” papar Ovan.


Latihan Fisik Ala Militer,

SEBENARNYA niat baik Lanud Abd Saleh yang mengulurkan tangannya dengan menyediakan mess kepada Arema merupakan suatu hal yang luar biasa. Praktis sejak saat itu, mereka ditampung di barak dalam rangka mempersiapkan sebuah tim solid yang mampu berbicara banyak. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga diperuntukkan sebagai tempat berlatih.

“TNI AU memberikan andil yang besar pada sejarah perkembangan Arema,” papar Ir Lucky Acub Zaenal. Karena sampai Arema ‘besar’ (sekarang), Lapangan Pagas masih menjadi tempat berlatih pemain-pemain Arema. Menariknya, saat itu pemain-pemain Arema berlatih fisik layaknya prajurit militer. Maryanto dkk digembleng fisik di hutan yang masih berada di kawasan Lanud Abd Saleh. Pemain berlari zig-zag diantara rimbunnya pohon.

Sebagai klub yang baru berdiri di kancah Galatama, keberadaan Arema sempat menarik perhatian khalayak. Bagaimana sih tampilan tim baru itu? Beruntung, debut perdana Arema kala itu mampu menarik perhatian publik Malang. Arema mendapat kesempatan langka untuk uji coba dengan tim elite asal Negeri Ginseng Korea Selatan (Korsel), Haleluya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Kesempatan itu diperoleh Arema sewaktu Haleluya sedang melakukan pertandingan eksebisi di Indonesia.

Kemudian digandenglah Haleluya untuk bertanding dengan Arema di Stadion Gajayana. Awal debut Arema itu mendapat perhatian besar masyarakat. Mereka berbondong-bondong ke Gajayana. Tiketpun ludes. Ternyata, laga perdana Arema tidak seperti yang diharapkan. Di lapangan Arema menjadi bulan-bulanan pemain-pemain Haleluya yang sarat pengalaman.

Kekalahan 5-0 tanpa balas itu berbuntut kekecewaan penonton. Makian dan umpatan tak habis-habisnya dialamatkan kepada ‘bayi’ Arema. Pokoknya entek-entekan (habis-habisan). Sekedar catatan, salah satu pemain Haleluya yang berlaga di partai eksebisi dengan Arema kala itu, ternyata diketahui sebagai kakak kandung Han Yong Kuk, legiun asing asal Korsel yang dimiliki Arema diguliran LI VII 2001.

Namun, Arema terus berbenah. Pelajaran mahal dari Haleluya dijadikan acuan untuk perkembangan ke depan. Cacian maupun makian dijadikan cambuk. Toh, berdirinya Arema juga sempat mengundang kecurigaan aparat waktu itu. Maklum, sebutan Arema identik dengan dunia sindikat, geng, dan segala tetek-bengek berbau kriminal. Buntutnya, Ovan Tobing terpaksa harus bolak-balik untuk dimintai keterangan aparat TNI. Namun, lewat upaya keras yang meletihkan, akhirnya Arema yang motivasi awal didirikan untuk mengangkat martabat dan harga diri warga Malang itu perlahan-lahan mulai berkibar.

Sepak Bola, antara Kekerasan dan Perdamaian,

Liga Indonesia atau kini disebut Liga Bank Mandiri telah mencapai usia 7 tahun dari pertama kali digelar tahun 1994. Dan saat ini LI VII telah hampir merampungkan seluruh partai penyisihannya. Diakui atau tidak, pergelaran Sepak Bola Nasional ini telah memberi warna pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Kemenangan dan kekalahan dalam sebuah pertandingan akan mendatangkan sejuta rasa bagi pemain dan pendukungnya. Tawa, tangis, perkelahian, tawuran, pengrusakan, persahabatan, persaudaraan, sportivitas merupakan luapan emosi yang biasa terjadi dalam dunia Sepak Bola. Intinya Sepak Bola bisa mendatangkan kekerasan, tetapi sebaliknya dari Sepak Bola juga bisa mendatangkan perdamaian. Bukankah salah satu tujuan dari olah Raga adalah sebagai alat pemersatu bangsa.
Pertanyaanya, mana yang lebih dominan dihasilkan oleh sepak Bola kita. Kekerasan atau Perdamaian.
Jika pertanyaan ini ditujukan ke Aremania (Kelompok Supporter Pendukung PS. Arema Malang), maka dengan tegas mereka akan menjawab PERDAMAIAN.

Jumlah pendukung berat PS Arema yang berkisar 25.000-30.000 orang, merupakan jumlah/angka yang amat fantastis bagi kota yang hanya berpenduduk 800.000 jiwa. Belakangan anggotanya pun meluas melewati batas-batas geografis ke kota sekitar seperti Pasuruan, Jember, dan Blitar. Bahkan sekumpulan orang “Malang” di Jakarta, Yogya, Bali, Batam, dan beberapa kota di Kalimantan dan Sulawesi juga menghimpun diri dalam aremania. Saat ini telah terjadi identifikasi dengan terbentuknya koordinator wilayah (korwil) untuk “mengorganisir” aremania. Ukuran korwil tidak dibatasi secara tegas bisa berupa sebuah kawasan atau hanya sekedar sebuah gang sempit. Dalam setiap minggu ada saja pembentukan korwil baru aremania. Korwil termuda yang baru saja diresmikan beberapa minggu yang lalu adalah Korwil “Arema Police”. Yaitu sebuah Korwil yang beranggotakan Polisi & Polwan di Polresta Malang. Lagi-lagi sebuah fenomena yang luar biasa. Tidak hanya itu, aremania yang terkenal dengan kretifitasnya yang sangat tinggi juga telah membentuk sebuah korwil di dunia cyber (internet) dengan nama AremaniaCyber. Sekali lagi Aremania merupakan pelopor dalam penyediaan berita-berita seputar kesebelasan kesayangannya dan pendukungnya dalam bentuk Web Site yang dikelola sendiri oleh supporter (Korwil Aremaniacyber).

Terbentuknya korwil-korwil seperti itu membuka peta baru bagi aremania. Fenomena aremania berkembang ke arah kepentingan ekonomi, social dan bahkan keamanan.Identifikasi itu dalam masa tertentu justru melewati batas-batas geografis,profesi, etnis, dan agama. Selain soal itu, penggunaan bahasa walikan (balikan) di antara komunitas aremania, makin mengentalkan proses identifikasi diri itu. Aremania sudah menjadi semacam subkultur, di mana terdapat persamaan emosi yang guyub di antara komunitas tersebut. Kota Malang sendiri sebenarnya menyimpan tingkat konflik yang cukup tinggi. Di kota pendidikan ini berdiri lebih dari 48 Perguruan Tinggi/Universitas dengan lebih dari 150 ribu mahasiswa di dalamnya yang berasal dari seluruh pelosok tanah air. Di sekitar tahun 1970-an dan awal 1980-an Di Kota Malang sering terjadi perkelahian antar geng yang akhirnya bermuara pada tawuran masal antar kampung, tetapi saat ini hal tersebut nyaris tak pernah terjadi, apalagi sampai terjadi kerusuhan yang berdampak besar di kota yang dulu berhawa sejuk ini. Begitu pula tak pernah terdengar perkelahian pelajar atau mahasiswa bentrok dengan aparat.

Aremania telah berkembang tidak sebatas sesama pecinta bola. Pada awalnya, memang fenomena ini dicurigai sebagai semacam resistensi masyarakat lokal terhadap warga pendatang di Malang. Makanya atribut semacam bahasa walikan menjadi semacam identifikasi terhadap komunitas yang eksklusif. Namun, kecurigaan itu terbantah jika melihat beragamnya asal, etnis, dan profesi para aremania. Mereka tidak saja berasal dari “Malang” asli, tetapi kaum pendatang seperti mahasiswa serta para perantau yang merasa menjadi “malang” ketika mengenakan atribut aremania.

Kelahiran aremania lebih didorong oleh satu kesadaran kolektif atas dasar persamaan emosi pentingnya melakukan identifikasi. Kesadaran bersama itu menemukan kanalnya pada olah raga, terutama sepak bola yang dinilai mampu menampung ekspresi kejantanan dan “liar” itu. Meski pada awalnya aremania muncul dari mulut-mulut gang yang cenderung berkesan primordial, fenomena ini kemudian bergeser menjadi fenomena sosial yang egaliter. Ia tidak memiliki satu pemimpin sentral yang bisa memobilisasi para anggota dalam sekejap. Tidak pula memiliki golongan-golongan “priyayi” yang bisa memanfaatkan massa aremania demi kepentingan politik atau ekonomi. Selain itu, aremania tidak memiliki hubungan secara struktural dengan Yayasan Arema.

Pengorganisasian supporter ini sebenarnya pernah direkayasa secara kultural pada tahun 1988 dengan dibentuknya Arema Fans Club (AFC). Organisasi ini dimaksud sebagai upaya mengorganisir para suporter PS Arema. Tetapi rekayasa
ini tidak berhasil dan AFC mati dengan sendirnya.

Maka sesungguhnya aremania adalah satu gejala rasionalitas kota dengan bentuk-bentuk seperti kelompok suporter sepak bola, kelompok musik, dan kelompok-kelompok sosial lainnya. Ia bukanlah sekadar heroisme yang memiliki
ikatan etik longgar di antara sesama anggotanya. Kelompok-kelompok yangtadinya hanya berkumpul di mulut gang makin meluas dan memperlakukan Kota Malang sebagai satu kesatuan organis yang guyub satu sama lain.

Menonton Sepak Bola di Malang sudah bukan menjadi dominasi anak muda”pribumi” tetapi laki-laki, perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang tua dan bahkan dari etnis Tinghoa-pun sudah bisa menikmati petandingan Sepak Bola di Stadion Gajayana. Keamanan jiwa dan harta mereka dijamin sepenuhnya oleh aremania sendiri.

Secara pribadi saya yakin, suatu saat nanti Stadion Sepak Bola di Kota Malang sudah tidak lagi memerlukan pagar pembatas antara kursi penonton dengan lapangan bola, layaknya Stadion di Inggris. Suatu saat nanti sekali lagi Malang dan Aremania akan menjadi pelopor dalam hal ini. Jelas sudah bahwa sepak bola telah berhasil menjadi alat pemersatu yang berujung pada perdamaian sejati warga Malang.

Berkibarlah Bendera Aremania,

Tampil di Malaysia? Siapa takut! Mungkin itulah yang dirasakan anggota kontingen Indonesia. Berjuang mendulang medali di Negeri Jiran, tak ubahnya berlaga di depan publik sendiri. Banyak buktinya!
YA, Tim Merah Putih memang bagaikan tampil di tanah air. Di setiap venues selalu disambut supporter fanatik. Saking semaraknya orang Indon sebutan orang Malaysia untuk pendatang Indonesia mampu menandingi pendukung tuan rumah. Mereka adalah tenaga kerja asal Indonesia yang mengais rezeki di sana. Menurut catatan yang ada,jumlahnya sekitar 6,1% dari penduduk Malaysia yang berjumlah 21 juta. Mereka lah yang selalu setia mendampingi para atlet. Dukungannya begitu tulus. Kalah atau menang,favorit atau hanya underdog, Indon tak pernah surut memberi support. Lagu Indonesia Raya atau Maju Tak Gentar sayup-sayup terdengar dari para gemuruh dukungannya.

“Ayo, Indon…Maju terus!” teriak mereka. Laungan tersebut terus mewarnai perjuangan kontingen Indonesia. Gaung suporter yang membangkitkan semangat ini, terdengar di hampir semua venues di mana Tim Merah Putih berlaga.
Mulai dari stadion bola, arena bulu tangkis hingga ring tinju, begitu semarak dengan para Indon ini.
Melawan Malaysia pun, Indon tak pernah surut. Mereka tetap bersemangat menandingi dominasi suporter tuan rumah.

Saat Bambang Pamungkas dkk. berjumpa Malaysia misalnya, ribuan Indon membanjiri Petaling Jaya Municipal Council (MPPJ) Stadium. Suporter Indonesia memenuhi separo tribun belahan utara.
“Indonesia dan Malaysia merupakan musuh bebuyutan. Jika keduanya bertemu, pekerja Indonesia seperti saya ini, selalu ramai,” ucap Andi, pemuda asal Gresik yang sudah 6 tahun tinggal di Malaysia, ketika bertemu Jawa Pos di pintu masuk stadion.

Semangat dukungan mereka tak kalah “ganas” dibanding pendukung tuan rumah. Kendati teriakan mereka terkadang ditelan riuh suporter Malaysia. Para Indon ini selalu tampil dengan atribut khas tanah air. Mulai dari ikat kepala ‘Merah Putih’ syal dengan warna serupa. Selain itu, tak lupa bendera dan spanduk yang menggugah semangat nasionalisme atlet. “Meskipun sudah lama tinggal di sini, kita tak akan pernah lupa mendukung Indon lah,” ucap Andi, dengan logat Melayu yang kental.

Dan, seperti galibnya pendukung bola, di manapun mereka berada pasti berperilaku fanatik. Bendera Indonesia yang berukuran cukup besar, dibeber di beberapa sudut tribun. Menariknya, di tengah-tengah deretan bendera tersebut, tampak hadir satu BENDERA AREMANIA Malang, dalam ukuran yang tak kalah besar.

Bendera berwarna biru-putih beserta gambar kepala singa di tengahnya, turut meramaikan suasana. Mungkin pendukung tuan rumah sempat dibuat bingung kehadiran bendera yang bukan termasuk salah satu dari negara peserta.
“Di sini, Arek Malang jumlahnya cukup banyak,” ungkap Supriyanto, pekerja yang mengaku berasal dari Malang Selatan. Karena itulah, tak heran jika komunitas mereka masih terbawa hingga Negeri Jiran ini. Lantas, dari mana bendera itu? Apa dibawa dari Indonesia? “Tidak. Mereka menjahit dan mengecatnya di sini,” jelas Kera Ngalam yang bekerja di bidang konstruksi itu.

Tapi, kumpulan tersebut masih bersifat temporer karena Arek Malang tempat tinggalnya tersebar. Hanya kalau ada event-event seperti Piala Thomas dan SEA Games inilah mereka bisa berkumpul mendukung Indonesia secara beramai-ramai. “Anak dari Malang sebagian besar tinggal di Jalan Jelatek yang terletak di daerah Kampung Datuk Keramat,” paparnya.

Pekerjaan yang mereka geluti pun bermacam-macam. Mulai menjadi penjaja bakso, pekerja kilang (pabrik), pelayan toko ataupun jadi kuli bangunan. Penjaja bakso Malang sedikit lebih beruntung. Bakso khas daerah berhawa sejuk ini, laku keras. Sekadar gambaran, penjual bakso bisa mengantongi RM 300 (sekitar Rp 750 ribu) perhari.

Betahkah mereka di Malaysia? Tidak semuanya enjoy. Bahkan sebagian besar berpendapat hujanemas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri. Tapi mengapa tetap nekat ke negeriorang? “Kami ini tak punya keterampilan ataupun pendidikan tinggi yang bisa digunakan di Indonesia. Jadibekerja di Malaysia hanyalah untuk menyambung
hidup,” jawab Entos, pekerja di sebuah warung makan.

Aremania dan Konser Kebudayaan Rakyat, Keder bila Tim Tamu Tak Bermental Juara,

Menonton pertandingan Arema di Stadion Gajayana berarti menonton pertunjukan kebudayaan rakyat. Itulah yang disuguhkan 20 ribu-an Aremania dalam pertandingan melawan Persebaya, Minggu lalu. Sayang, tidak ada suporter Persebaya yang diizinkan bertandang ke sana.

“TIM mana pun yang bertandang ke Stadion Gajayana, pasti dibuat keder duluan,” kata seorang wartawan Malang. Ungkapan itu tidak berlebihan. Hanya mereka yang benar-benar bermental baja yang tahan menghadapi suporter superfanatik Arema yang dikenal sebagai Aremania (dan Aremanita untuk wanita).
Persebaya, yang bermain di Gajayana, Minggu lalu, pasti juga menghadapi keadaan yang sama. Begitu mereka masuk ke stadion, mereka melihat lautan biru 20 ribuan Aremania yang menyanyi dan menari dengan gerakan dan irama ritmis yang menggetarkan.

Tidak jarang, mental lawan sudah mengkeret begitu masuk lapangan. Hanya pemain berkelas juara seperti PSM yang bisa mengatasi problem itu. Persebaya pun terlihat gugup berada di tengah-tengah lautan biru yang tidak pernah berhenti
bergerak dan bernyanyi sepanjang pertandingan.

Dalam pertandingan itu, justru pemain-pemain asing Persebaya yang tidak peduli dengan nama besarArema. Deca dan Marcello sejak awal sudah nekat meladeni permainan keras Charis Yulianto, Putu Gede dan Kuncoro. Selain mereka berdua, striker Andy Kapouw juga bermain dengan penuh nyali. Pemain-pemain Persebaya lainnya, yang lebih mengenal gaya permainan Arema, memilih bermain “taktis” daripada harus berisiko menghadapi labrakan lawan.

Bermain melawan Arema, berarti bermain “melawan” puluhan ribu Aremania yang fanatik. Gerakan dan lagu-lagu mereka bisa menjadi teror yang menciutkan nyali. Apalagi, Persebaya tidak mempunyai seorang suporter pun yang diizinkan untuk mendukung mereka.

“Kami tidak mau mengambil risiko,” kata Kapolresta Malang Nicolaus Eko Riwayanto kepada Jawa Pos.
Suporter Arema dan Persebaya selalu bersaing. Masing-masing ingin menunjukkan sebagai yang terbaik dan terbesar. Harus diakui, Aremania lebih mempunyai citra yang baik ketimbang suporter Persebaya yang tercoreng oleh ulah bonek. Saking tajamnya persaingan itu, sampai-sampai Persebaya dan Arema membuat kesepakatan untuk tidak saling mengirim suporter saat bertandang.

“Konsentrasi saya adalah mengamankan suporter Arema. Saya tidak bisa memecah konsentrasi kepada suporter Persebaya,” kata Nicolaus mengenai alasannya tidak mau menerima suporter Persebaya.
Risiko memang sering muncul. Ketika suporter Arema masuk ke stadion Gelora Delta Sidoarjo beberapa waktu yang lalu, keributan pun pecah. Kabarnya, mereka diserang oleh suporter bonek yang menyusup ke stadion. Akhirnya mereka marah dan keributan pun pecah.
Komentator sepak bola Malang Husnun N Djuraid melihat Aremania lebih mempunyai disiplin dibanding suporter Persebaya yang gampang disusupi bonek. Karena itu, ia melihat Aremania lebih siap berkunjung ke mana pun tanpa berbuat onar.

“Buktinya, mereka juga berkunjung ke Solo, dan tidak ada keributan,” kata Husnun yang juga pemimpin redaksi Malang Post.
Aremania sudah menunjukkan disiplin yang sangat tinggi selama ini. Meski keanggotaan mereka sangat longgar dan tidak terikat secara formal, tetapi mereka sangat terkendali. Mereka dipimpin oleh koordinator wilayah (korwil) yang berada
di wilayah kecamatan atau desa dan RT.

Kepemimpinan ini sifatnya informal. Biasanya tokoh informal setempat yang dianggap berwibawa yang diangkat sebagai korwil. Pemimpin formal malah jarang diterima dan bahkan sering dicurigai.
Secara sosiologis, Aremania banyak yang berasal dari kelas marjinal. Beberapa di antaranya bersentuhan dengan dunia premanisme. Beberapa juga mengkonsumsi minuman keras sebelum menonton. Tetapi ketika mereka memakai atribut Aremania, disiplin mereka begitu tinggi. Ketika seorang Aremania ketahuan melempar batu ke arah lapangan, maka temannya sendiri yang meringkusnya. Itu juga yang terjadi pada pertandingan Minggu.

“Disiplin mereka sangat tinggi,” kata Didik Suwandi, arek Malang yang sekarang menjadi bos sepeda motor Kanzen yang menjadi sponsor Arema.
Soal kreativitas, Aremania jagonya. Mereka mengadaptasi berbagai jenis lagu untuk dijadikan lagu-lagu Arema. Mulai dari lagunya Queen sampai lagu-lagu tradisional. Kutipan-kutipan di spanduk terasa cerdas. Bahkan syair lagu Westlife pun mereka kutip di spanduk: “When the skies are blue, I値l see you once again, my love.”

Sebelum pertandingan, mereka selalu menggelar performing art. Pada pertandingan Minggu, mereka membawa kaus hijau bertuliskan “Bonek, Virus Sepakbola Indonesia” lalu membakarnya.
Tetapi, satu hal yang patut dicontoh: mereka selalu membuka show dengan menyanyikan “Padamu Negeri” bersama sambil berdiri khidmat. Betul-betul sebuah pertunjukan rakyat yang cerdas dan menggetarkan. (*)

Singgih Canggih, Aji Bertaji, Hasilnya: Juara,

Awal-awal 1990-an, boleh disebut sebagai masa keemasan Arema, pada era Galatama. Setidaknya, ada tiga prestasi top yang diraih skuad Singo Edan saat itu. Yakni, membuat prestasi sensasional dengan jadi juara Galatama, serta dua musim berturut-turut, Singgih Pitono tampil sebagai top scorer.
TAK salah karenanya, pada era itu nama Singgih Pitono sering disebut jadi bintang di antara bintang Singo Edan. Penyerang berpostur ceking yang waktu masih jaya sering berambut gondrong itu, bukan saja bisa jadi andalan Arema untuk urusan mencetak gol. Namun, dia juga mampu mengungguli striker-striker top di tanah air waktu itu, dengan tampil sebagai pencetak gol terbanyak.

Hebatnya, pemain kelahiran Ngunut, Tulungagung, 34 tahun lalu itu, jadi top scorer berturut-turut dalam dua musim. Yakni, pada Galatama XI musim 1990/1992 dengan mencetak 21 gol, dan musim XII 1992/1993 (16 gol). Singgih sekaligus meneruskan kejayaan striker Arema lainnya, Micky Tata yang jadi top scorer Galatama musim IX. 1988/1999.

Kepantasan Singgih jadi bintang bertambah, setelah namanya masuk dalam daftar pemain yang dipanggil PSSI untuk seleksi tim nasional yang bakal dikirim ke SEA Games 1991. Namun, pemain yang punya lari kencang dan tendangan akurat ini, tak lolos seleksi. Dua tahun berikutnya, dia kembali dipanggil seleksi timnas. Tapi, kembali Singgih gagal.

Nah, pada masa itu malah rekan se-tim Singgih Aji Santoso yang sukses bergabung timnas. Pemain asal Kepanjen ini, bahkan sudah mencatatkan namanya sebagai pemain nasional sejak 1990, saat usianya belum genap 20 tahun. Bahkan, boleh dibilang, jika ukurannya prestasi di timnas dan karir, pemain yang kini menjadi kapten Persema Malang United ini adalah bintang Arema yang paling moncer. Tidak kurang sebelas tahun, Aji terus masuk timnas (1990-2000). Selain itu, lewat permainannya yang ekselen, dia pun jadi rebutan klub-klub besar. Saat meninggalkan Arema pada 1996, Aji pindah ke Persebaya. Berikutnya, dia membela PSM Makassar, sebelum kini bergabung Persema.

Nah, dengan Singgih yang tengah canggih-canggihnya dalam mencetak gol, Aji yang mulai unjuk gigi, Arema menapak ke puncak prestasi: jadi juara kompetisi Galatama musim XII, 1992/1993. Tentu bukan cuma Aji dan Singgih saja yang berperan besar saat itu. Di tim juara itu, masih ada libero andal Imam Hambali sebagai kapten tim, didukung bek Joko Slamet, Jamrawi dan Andik. Lalu, di tengah Jonathan dan Dominggus Norwenik punya partner baru, Maryanto, yang sempat jadi pemain amatir terbaik saat masih memperkuat Persema (para era Perserikatan). Pada saat itu juga muncul pemain muda Kuncoro dan Joko Susilo yang keduanya kini masih main bersama Arema. Selain itu, juga ada Harry Hunter Sieswanto, dan Mahmudiana. Pemain yang terakhir ini, menurut Eko Subekti -salah satu ofisial tim Arema saat itu-adalah spesialis gelandang pengganti. “Tapi, dia pemain pengganti dengan kualitas nomor satu,” jelasnya. Sedangkan di belakang gawang, ada Nanang Hidayat sebagai kiper utama, dengan cadangan Ahmad Yono dan Sukriyan. Tim juara itu pada awalnya dilatih M Basri. Namun, menjelang kompetisi musim XII itu ber**, Basri malah mundur. Akhirnya, saat- saat menuju juara itu, Gusnul Yakin-lah yang menjadi pelatih.

Sayangnya, catatan juara pada musim 1992/1993 itu seolah jadi klimaks. Pasalnya, pada musim berikutnya, prestasi Arema melorot drastis. Pada musim XIII, 1993/1994 yang juga menjadi kompetisi Galatama terakhir (sebelum diubah format menjadi Liga Indonesia), arek-arek Singo Edan dengan materi yang sama, tenggelam. Pada musim XIII itu, kompetisi dibagi dalam dua wilayah. Arema ada di wilayah timur dengan delapan tim peserta. Payahnya, Arema hanya mampu finish di peringkat enam dari delapan tim peserta itu
(admin borju)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar