Apa arti sebuah nama. Demikian kata sastrawan kenamaan Inggris, William Shakespeare (1564-1616). Namun tidak bisa dipungkiri bahwa nama itu penting, dan nama sebutan (predikat) juga tak kalah pentingnya dan memiliki arti tersendiri.
Maka tidak keliru jika klub-klub sepak bola juga memiliki predikat, yang
menunjukkan identitas kota/kabupaten, provinsi, dan negara. Sebutan
untuk klub sepak bola tak jarang mengambil nama tokoh lokal yang pernah
menjadi mitos atau legenda. Kesebelasan Deltras Sidoarjo misalnya,
disebut "The Lobster", sesuai lambang daerah, yaitu udang dan bandeng.
Nama "Joko Tingkir" untuk kesebelasan Persela Lamongan mengingatkan
tokoh yang mampu menaklukkan kerbau liar dan ratusan buaya. "Sakerah"
untuk kesebelasan Persikapas (Pasuruan) mengingatkan tokoh Madura yang
berani melawan Belanda. "Si Pitung" untuk Persitara (Jakarta Utara)
diangkat dari
tokoh Betawi penentang penjajah Belanda. "Laskar Ken Arok d/h Bledeg
Biru untuk Persema (Malang), karena Walikota Malang Peni Suparto
mengidolakan tokoh Ken Arok Raja Singasari (1222-1227).
Sedang predikat "Singo Edan" untuk kesebelasan Arema (Indonesia) sebenarnya tidak memiliki akar dengan sejarah dan asal-usul Kota Malang, karena si raja hutan tidak terdapat
di Jawa ataupun Nusantara. Lambang singa berkaitan dengan berdirinya
klub sepak bola Arema (Arek Malang) pada 11 Agustus 1987, yang
bertepatan horoskop bintang leo = singa. Predikat klub sepak bola yang
didirikan Mayjen TNI (Purn) Acub Zainal, akhirnya diterima
supoter/pendukungnya dan disepakati sampai sekarang. Untuk mengesankan
"garang" di lapangan, maka ditambahi "singa edan". tetapi diterima publik. Sedang predikat kesebelasan
Persatuan Sepak Bola Surabaya (Persebaya) sampai saat ini tampaknya
masih menjadi perdebatan.
Sewaktu Dahlan Iskan menjabat manajer
Persebaya, memunculkan nama "Green Force" ke permukaan, baik dalam
pemberitaan media massa maupun dalam bentuk aksesoris, seperti ikat
kepala, sal/selendang, kaos suporter, bendera, dan spanduk. Nama "Green
Force" (Kekuatan Hijau) sesuai kostum kebanggaan/ciri khas Persebaya,
yaitu warna hijau yang melambangkan keadilan.
Lantas sekarang muncul
predikat lain, seperti "Bajul Ijo". Tepatkah predikat itu? Jika "Bajul
Ijo" sebagai sebutan Persebaya, lalu (ikan) sura-nya mana? Padahal sura
dan baya merupakan satu kesatuan sebagai lambang Kota Surabaya yang
keberadaannya, menurut sejarah, ditetapkan 31 Mei 1293. Ikan sura dan
baya juga telah menjadi legenda dan menjadi ikon kota pahlawan.
Sebaiknya predikat "Bajul Ijo" untuk Persebaya perlu dipertimbangkan.
Pasalnya, bajul atawa buaya memiliki konotasi yang tidak sedap. Buaya
darat misalnya, diidentikkan dengan penganggu perempuan. Beda dengan
buaya keroncong yang tak lain dan bukan adalah seniman (musik) keroncong
kawakan.
Untuk predikat Persebaya sebenarnya masih banyak nama lain
yang bisa masuk nominasi. Di antaranya, Laskar Bung Tomo (sesuai dengan
stadion Gelora Bung Tomo yang dibangun di Surabaya Barat), Laskar Kota
Pahlawan, Laskar Hijau, Arek Suroboyo, Sura Ijo Bajul Ijo, dan lainnya.
Salah kaprah :
Predikat bonekmania yang menjadi suporter Persebaya muncul dan
menggegerkan jagad persepakbolaan nasional pada tahun 1989. Saat itu
bonek mendukung kesebelasan Persebaya di Istora Senayan, Jakarta. Nama
bonek mewarnai pemberitaan di suratkabar, karena berulah membuat
keributan merusak stasiun kereta api dan menjarah warung nasi dan
pedagang minuman tanpa bayar, dan ketika pulang dinaikkan kapal untuk
menghindari amuk massa balasan.
Bonek merupakan kepanjangan dari
bandha/bondo nekat (bermodal nekat/berani) yang merupakan bentukan dari
kelompok masyarakat akar rumput. Kata bonek akhirnya menjadi
perbendaharaan kata baru dalam Bahasa Indonesia. Bonek dan bonekmania
identik dengan suporter fanatik Persebaya.
Tentang bonek, Budi Darma pernah menulis demikian: Jangan heran, bangsa ini mengantongi jatidiri yang tidak terpuji, yaitu jiwa
bonek, sebuah nama untuk para suporter fanatik klub sepakbola yang
modalnya hanya "bondo nekat", yaitu tidak punya modal selain kenekatan
liar dan merusak. Para bonek ini menonton sepakbola, kalau perlu dengan
menempuh jarak ratusan kilometer, tanpa uang sama sekali, lalu mengamuk
dan merampok untuk kepuasan diri dan kepentingan perut mereka sendiri,
tentu saja, katanya, demi kepentingan klub pujaan mereka (Kompas, 14 Mei
2005).
Bonek yang dipopulerkan kalangan akar rumput, sebenarnya
merupakan istilah salah-kaprah, yang dibiarkan, dan akhirnya menjadi
kumpulan massa yang tak jarang bertindak radikal, tanpa berpikir
rasional, tidak kendali, dan anarkis. Misalnya, dengan membakar mobil
siaran salah satu stasiun televisi. Sampai awal tahun 2010 juga masih
terjadi tindakan anarkis, baik dilakukan bonek maupun oleh kelompok
masyarakat yang anti bonek.
Guru Besar Universitas Airlangga Prof Dr Hotman M. Siahaan dalam acara Titik Tengah yang ditayangkan Metro TV Biro Jatim, menilai perilaku
bonek yang merusak fasilitas umum merupakan tindakan anarkis. Anarkisme
inilah yang sebenarnya perlu diurai dan dicarikan pemecahannya, dan
bukan dianggap sebagai perbuatan biasa atau kenakalan remaja. Sedang
Wastomi Suhari Ketua Yayasan Suporter Surabaya menjelaskan bonekmania
juga sebagai korban kekerasan.
Untuk meniadakan anarkisme suporter
Persebaya, sebaiknya mengubur sebutan bonek dari predikat suporter.
Pasalnya, bonek adalah sebutan yang salah-kaprah. Selain itu, suporter
di mana pun tentu harus membeli tiket (karcis tanda masuk) untuk
menonton pertandingan sepak bola dan mendukung klub kesayangannya.
Menonton pertandingan tandang di luar Surabaya pun juga perlu duit untuk
naik kereta api atau bus, kecuali nggandol truk. Jadi, tak ada yang
gratis jika menonton pertandingan sepakbola di stadion manapun. Siapa
tahu dengan mengubur sebutan bonek, suporter Persebaya mampu menjadi
pendukung yang fanatik, tidak vandalis, dan bermartabat. Salam olahraga
dan fair play di rumput hijau dan di ruang publik. ***
Artikel celeh
BalasHapusArtikel celeh
BalasHapusArtikel celeh
BalasHapus